Siapa Yang Mendakwahi dan Mendebat Tokoh Dai Penyeru Ahli Bid’ah?
Bersama:
Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah
Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullah
Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah berkata: “Tetapi diantara ahli bid’ah ada da’i (penyeru) , maka ahlussunnah tidak bermajlis dan tidak mendebat mereka kecuali dalam keadaan terpaksa, dan juga kecuali untuk sebuah maslahah. Maka tidak boleh engkau masuk dalam perdebatan bersama mereka. Tidak boleh engkau masuk dalam perdebatan bersama orang-orang syiah rafidhah khususnya jika engkau lemah. Tidak boleh engkau masuk dalam perdebatan bersama orang sufi khususnya jika engkau lemah.
- Kecuali jika orang (ahlussunnah) itu kokoh dalam ilmu, agama dan penegakan hujjah. Dia memiliki kecerdasan dan memandang ada sebuah kemaslahatan dalam mendebat mereka, maka dia bisa mendebat mereka. “Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” Di sana ada jidal (perdebatan/bantahan) yang disyariatkan. Allah tidak menutup pintu perdebatan 100 %. Jika ada jalan bagi kita untuk menegakkan hujjah dan memberi hidayah orang-orang kepada kebaikan, maka kita tempuh. Sedangkan orang yang engkau debat kadang tidak mengambil manfaat, tetapi selainnya kadang bisa mengambil manfaat.
- Adapun jika orang ahlussunnah itu lemah, maka jangan. Bahkan di antara ulama ada yang lemah, dan kadang tersambar oleh syubhat padahal dia seorang alim. Dia seorang ulama tetapi kepribadiannya lemah. Dia lemah di depan ahli bid’ah meskipun ahli bid’ah itu lebih kecil dan lebih sedikit ilmunya. Banyak dari orang-orang yang menisbatkan diri kepada sunnah dan hadits berubah karena dia lemah dan menyelisihi manhaj salaf.”
Kemudian Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah membawakan beberapa contoh orang-orang lemah yang tertipu dengan ahli bid’ah. Kemudian beliau berkata:
“Maka orang yang kuat mendakwahi ahlul bid’ah, mendakwahi nashara. Harus ada yang berdakwah ke jalan Allah. Harus ada ulama yang kuat yang menyebarkan agama Allah. Jika dia butuh untuk mendebat, maka dia lakukan sehingga tegak hujjah dan orang bisa mengambil manfaat. Adapun orang-orang lemah, maka jangan. Demi Allah, meskipun dia seorang alim namun dia lemah. Wajib atasnya untuk menjauhi ahlul bid’ah.
Oleh karena itu Al Imam Abu Utsman Ash Shabuni rahimahullah berkata ‘Ahlussunnah tidak mendebat mereka dan tidak berbantah-bantahan dengan mereka’, sesuai dengan rincian yang telah aku sebutkan. Kadang kebutuhan dan maslahat memaksa untuk melakukan perdebatan, maka lakukan. Dan Al-Qur’an menjelaskan hal itu (yang artinya): “Janganlah kalian mendebat ahlul kitab kecuali dengan cara yang lebih baik.” (QS. Al-Ankabut: 46) “Ajaklah ke jalan Rabbmu dengan cara hikmah, mau’izhah hasanah, dan perbantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu mengetahui orang yang sesat dari jalan-Nya, dan mengetahi orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Akan tetapi siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang punya kemampuan, tidak sembarang orang. Banyak orang tertipu dengan dirinya, dia berkata: “Aku akan masuk dalam perdebatan dengan orang-orang itu supaya aku bisa memperbaiki mereka.” Kemudian engkau lihat dia telah ditarik mereka dan menjadi bersama mereka. Sangat banyak.
Maka jenis ini jangan masuk ke dalam perdebatan dengan ahli bid’ah, karena mereka akan mengalahkan mereka dengan syubhat-syubhat dan hilah, tipu daya dan makar, hingga walaupun dengan memberikan banyak harta.” Selesai nukilan Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah dari Syarh Aqidah As Salaf Ashhab Al Hadits hal 300-302.
Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi rahimahullah berkata: “Di dalamnya ada peringatan dari jidal (perdebatan), perseteruan, perbantahan dan ingin saling mengalahkan (dengan ahli bid’ah). Padanya ada perincian:
- Jika seorang kuat persangkaannya dia akan mengalahkan dalam perdebatan karena dia hafal nash-nash yang dipegang lawannya. Maka yang zhahir dia boleh melakukan hal itu. Demikianlah yang dilakukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau banyak mendebat kelompok ahli bidah dan ashabur ra’yi yang sesat. Beliau bisa mengalahkan mereka dan mendebat mereka dan membuat mereka terpukau.
- Adapun jika orang itu mendapatkan pada dirinya kelemahan ketika mengingat dalil-dalil, lemah dalam kepribadiannya. Sesungguhnya mengingat dalil-dalil dalam sebagian tempat butuh kepada kepribadian yang menguatkannya. Maka dia dalam keadaan ini, hendaknya dia meninggalkan perdebatan. Ini lebih utama.” Selesai nukilan dari beliau di Kitab Irsyad As Sari Fii Syarh As Sunnah Lil Barbahari hal 233-234.