Jika kita telah mengetahui bahwa makan daging burung dara adalah boleh, maka apakah boleh memeliharanya dan bagaimana mengarahkan perkataan para imam yang berselisih tentang kebolehannya dan ditolaknya persaksian orang yang memelihara burung dara.
Datang dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan Abu Dawud 4940, Ibnu Majah 3765, Ibnu Hibban 5874, serta al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 1/190 serta dalam Syu’ab al-Iman 6535 dari jalan Hammad bin Salamah dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، رَأَى رَجُلاً يَتْبَعُ حَمَامَةً، فَقَالَ: شَيْطَانٌ يَتْبَعُ شَيْطَانَةً.
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang mengikuti burung dara bermain-main dengannya, maka beliau berkata: “Ini setan mengikuti setan.”
Hadits ini dalam sanadnya ada Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah Abu ‘Abdillah al-Laitsi al-Madani. Seluruh hadits yang datang dalam masalah ini adalah lemah, tidak pantas dan tidak kuat untuk dijadikan hujjah kecuali hadits ini. Oleh karena itu Ibnul Qayyim dalam al-Manar al-Munif 1/170 mengatakan: “Perkara yang paling tinggi dijelaskan oleh hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang mengikuti burung dara bermain-main dengannya, maka beliau berkata: “Ini setan mengikuti setan”.”
Asal memelihara burung dara adalah boleh, jika tujuannya untuk dimanfaatkan seperti untuk dimakan peranakannya, hobi, dijual belikan, atau dipakai untuk mengirim surat, menyampaikan berita, sebagaimana yang terjadi pada masa lampau, dimana mereka dulu mengirim surat dan berita ke berbagai kota dan negeri dengan menggunakan burung dara. Dan para ahli fikih dari madzhab yang empat telah menyebutkan secara tekstual bahwa tidak makruh menggunakan burung dara untuk seperti ini.
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalan Raudhat ath-Thalibin 11/226 berkata:
“Furu’: Mengambil burung dara untuk diternakkan, petelur, atau hobi, atau membawa surat maka itu boleh tidak makruh. Sedangkan bermain-main dengan menerbangkannya atau ditandingkan adu cepat-cepatan, ada yang mengatakan tidak makruh, tetapi yang benar bahwa itu makruh namun tidak ditolak persaksiannya dengan semata hal itu, jika diiringi dengan judi dan semisalnya maka persaksian orangnya ditolak.”
Pengarang kitab al-Mabsuth as-Sarkhasi 6/371 rahimahullah berkata: “Adapun jika orang itu mengurung burung dara dan mengandangkan untuk dipelihara karena hobi dan tidak menerbangkannya sebagai suatu kebiasaan, maka orang itu adil diterima persaksiannya, karena mengurung burung dara di rumah adalah boleh, tidakkah engkau melihat bahwa orang-orang mengambil sarang burung dara, dan tidak ada seorangpun yang melarang.”
Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Nail al-Authar 8/173 memberikan penjelasan hadits ‘Setan mengikuti setan’: “Di dalamnya ada dalil makruhnya bermain dengan burung dara dan itu termasuk lahwu (perkara melalaikan sia-sia) yang tidak diijinkan. Sekumpulan ulama berpendapat itu makruh, namun tidak jauh bila hadits ini menunjukkan haramnya, karena pelakunya disebut setan yang menunjukkan akan keharamannya. Sedangkan penamaan burung dara itu sebagai setan, entah karena burung dara itu menjadi sebab orang tadi mengikutinya, atau burung dara itu melakukan perbuatan setan dimana orang itu sangat menyukai untuk mengikutinya dan bermain-main dengannya karena bagus bentuknya dan bagus suaranya.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam al-Mughni 12/36: “Orang yang bermain dengan burung dara untuk diterbangkan, maka persaksiannya ditolak. Ini pendapat ashhabur ra’yi. Dulu Syuraih tidak membolehkan persaksian shahibu hammam (orang yang suka mandi di pemandian umum dengan melepas semua baju) dan shahibu hamam (orang suka bermain burung dara). Demikian ini karena hal itu merupakan suatu safah (kebodohan), perbuatan rendah, dan sedikitnya muruah, juga menyebabkan mengganggu tetangga dengan menerbangkannya dan memanjat rumah-rumah mereka, melempari rumah mereka dengan batu kerikil (ketika bermain burung dara). Meskipun memelihara burung dara untuk diternakkan, diambil telurnya, atau membawa surat atau untuk hobi tanpa mengganggu orang lain, tidak ditolak”
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Adapun memelihara burung merpati untuk diternakkan, diambil telurnya, untuk hobi, untuk membawa surat, itu boleh tidak makruh. Sedangkan bermain-main dengannya untuk diterbangkan, maka yang benar adalah makruh, jika diiringi dengan judi dan semisalnya, maka ditolak persaksian orangnya.” (Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih 13/247)
Al-Kasai rahimahullah berkata dalam Badai’ ash-Shanai’ 6/269: “Orang yang bermain burung merpati, jika dia tidak menerbangkannya, maka tidak gugur persaksiannya. Jika dia menerbangkannya, maka gugur adalah-nya (keadilannya), karena dia melihat aurat wanita (seperti ketika memanjat untuk mengejar burung dara), dan hal itu menyibukkan dia dari shalat dan ketaatan.”
Syaikhul Islam rahimahullah ditanya tentang bermain dengan burung dara di Majmu al-Fatawa (32/246), kemudian beliau memberikan jawaban:
“Bermain dengan burung dara adalah dilarang. Barangsiapa yang bermain dengan burung dara, kemudian melanggar kehormatan istri orang lain (seperti memanjat rumah sehingga melihat auratnya) atau melempari dengan batu kerikil, kemudian mengenai tetangga, maka dia dihukum ta’zir atas hal itu untuk menghentikannya dari hal itu dan menahannya darinya, karena dalam perbuatan ini ada kezhaliman dan permusuhan kepada tetangga, ditambah bermain dengannya adalah dilarang.”
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ath-Thuruq al-Hukmiyyah 1/408 berkata:
“Fasal: karena hal itu, dilarang orang-orang yang bermain dengan burung dara di atas kepala-kepala manusia, karena mereka dengan hal itu akan terseret ke perbuatan memanjat rumah mereka dan melihat aurat mereka.”
Ibrahim an-Nakhai berkata: “Barangsiapa yang bermain dengan burung-burung dara yang khusus untuk diterbangkan, dia tidak akan mati sampai merasakan kepedihan kemiskinan.”
Al-Baihaqi menyebutkan dari Usamah bin Zaid, dia berkata: “Aku menyaksikan ‘Umar bin al-Khaththab menyuruh untuk menyembelih burung-burung dara yang khusus untuk diterbangkan, dan membiarkan burung dara potong.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 10/213 dari riwayat Sa’dan bin Nashr: telah memberitakan kepada kami Rauh bin Ubadah dari Usamah bin Zaid dengan lafazh ini.)
Al-Imam Ahmad dalam musnadnya 1/543 dari riwayat Mubarak bin Fadhalah: al-Hasan telah memberitahu kami, dia berkata: “Utsman bin ‘Affan memerintahkan dalam khutbahnya untuk membunuh anjing dan menyembelih burung dara.”
Tetapi dalam sanadnya dhaif, karena ada Mubarak bin Fadhalah. An-Nasai berkata tentangnya: “Dia lemah.” Abu Zur’ah berkata: “Dia melakukan banyak tadlis, tetapi jika mengatakan: kami telah diberitahu, maka dia tsiqah.” Ad-Daraquthni berkata: “Dia lembek banyak salah, tapi dijadikan i’tibar.” Al-Hafizh berkata dalam at-Taqrib:
“Dia Shaduq, melakukan tadlis taswiyah.”
Namun Mubarak disini menyebutkan dengan jelas bahwa dia mendengar, sehingga hilanglah ‘illat tadlis, sehingga sanadnya hasan. Mubarak bin Fadhalah juga mempunyai mutaba’ah, yaitu:
- Yunus bin ‘Ubaid, diriwayatkan oleh Ma’mar bin Rasyid dalam al-Jami’ 11/3, Abdurrazaq dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 4/263, serta al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 6/7.
- Yusuf bin ‘Abdah, diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad 1301, dengan isnad yang dha’if karena ada Yisif ini yang lembek haditsnya.
Oleh karena itu sebagian ahlul hadits mencela bermain dengan burung dara.
Abdul Khaliq bin Manshur berkata: aku tanya Yahya bin Ma’in tentang Ma’mar bin Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, maka dia menjawab: “Dia bukan termasuk ahlul hadits, baik dia atau bapaknya, karena dia dulu bermain burung dara.” (Lihatlah Tahdzib al-Kamal 28/329, dan Tahdzib at-Tahdzib 10/224.
Hukum makruh, sebagaimana kata al-baihaqi dibawa oleh sebagian ahlul ilmi bila pemilik burung dara itu membiasakan bermain dan sibuk denganya, dan menyebabkan dia memanjat atap sehingga dia bisa melongok ke rumah tetangga dan istri-istri mereka.
Disusun oleh Abu Usamah al-Jazairi, sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=124594.